Pendahuluan
Etika merupakan bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik dan menginginkan hal baik dalam hidup.[1] Etika, sebagaimana metoda filsafat, mengandung permusyawaratan dan argumen eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu (etika praktis). Juga membahas asas-asas yang mengatur karakter manusia ideal atau kode etik profesi tertentu (etika normatif).[2] Etika adalah pedoman berbuat sesuatu dengan alasan tertentu. Alasan tersebut sesuai dengan nilai tertentu dan pembenarannya. Etika penting karena masyarakat selalu berubah, sehingga kita harus dapat memilih dan menyadari kemajemukan (norma) yang ada (filsafat praksiologik). Jadi etika juga adalah alasan untuk memilih nilai yang benar ditengah belantara norma (filsafat moral). [3]
Perbedaan etika dengan moralitas, bahwa moralitas adalah pandangan tentang kebaikan/kebenaran dalam masyarakat. Suatu hukum dasar dari masyarakat yang paling hakiki dan amat kuat.[4] Juga suatu perbuatan benar atas dasar suatu prinsip (maxim). Ia merujuk pada perilaku yang sesuai dengan “kebiasaan atau perjanjian rakyat yang telah diterima”, sesuai nilai dan pandangan hidup sejak masa kanak-kanak, tanpa permusyawaratan.[5]
Ciri khusus moralitas :
- Norma sangat penting (prinsipiil, kekuatannya “lebih bernilai” mengatasi segala pertimbangan). Esensiil bagi kebahagiaan masyarakat. Esensiil bagi tradisi budaya.
Makalah Penyegaran Etika Kedokteran, FKUI dalam rangka Modul EPC II, Jakarta, 18 Februari 2003. Penulis adalah Ketua PDFI Pusat, Sekretaris MKEK Pusat IDI, Ketua Bagian Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal FKUI/RSCM, Sekjen Jaringan Bioetika & Humaniora Kedokteran Indonesia.
- Hukum universal (berlaku prinsip “dimana saja, kapan saja, siapa saja”). Tatabahasa perintahnya universal.[6] Mengikat (ada kata-kata : “harus”). Terjadi, harus terjadi dan dapat diaplikasikan secara universal.
- Normal rasional (ada alasan masuk akal) dan obyektif (kebenarannya melingkupi seluruh masyarakat). Dasarnya adalah penalaran, tidak memihak, merupakan kebijakan akhir, prinsipnya benar, oleh pelaku otonom, dapat dibenarkan.
- Menyangkut (kebahagiaan) orang lain (misal : Golden Rule[7]). Memberi perhatian pada orang lain (altruisme), kasih/simpati, harapan timbal balik, perhatian berdasar maksud baik terhadap orang lain dan tindakan penghasil kebaikan orang lain.
Karena tanpa permusyawaratan, maka semua orang mempunyai moralitas. Contoh moralitas :
- norma agama non-samawi. Norma yang ada pada “kepercayaan” dan atau “agama kuno” seperti Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kejawen. Isinya antara lain ajaran agar manusia menjadi bijaksana atau mengerti (etika kebijaksanaan). Itu sama dengan etis. Disini belum ada “kewajiban”.
- Norma yang ada pada agama samawi. Orang harus berbuat baik dan adil, bukan buruk atau zalim, sesuai perintah Allah (etika teonom). Disini sudah ada unsur kewajiban (menuruti perintah tersebut).
Etika merupakan pemikiran atau refleksi atas moralitas. Dengan demikian tidak semua orang beretika. Ia adalah refleksi[8] filosofis yang sesungguhnya. Ia dimunculkan oleh para filsuf dan berlaku universal karena tak memandang masyarakat tertentu saja. Dokter melanggar janji datang tepat waktu, ia tidak etis. Bila meracuni pasiennya, ia tidak bermoral.
Dalam etika isinya adalah alasan yang deskriptif (“is”) bercampur preskriptif (“ought”). Isi etika juga merupakan pengecualian yang baik terhadap prinsip-prinsip yang baik. Juga merupakan penentuan pemenang nilai-nilai yang saling bersaing, penentu hirarki nilai yang tepat dan terpertanggungjawabkan.
Bioetika.
Bioetika (F. Abel) adalah studi interdisipliner tentang problem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran, pada skala mikro maupun makro, termasuk dampaknya terhadap masyarakat luas serta sistem nilainya, kini dan masa mendatang.
Bioetika merupakan pandangan lebih luas dari etika kedokteran karena begitu saling mempengaruhi antara manusia dan lingkungan hidup. Bioetika merupakan ”genus”, sedangkan etika kedokteran merupakan ”spesies”.
Unsur etika
- Nilai :
- Pra-moral : tidak/belum merujuk pada suatu norma konkrit perilaku manusia; misal : kesehatan, kehidupan, integritas fisik, seksualitas.
- Moral : mengharuskan manusia melakukan/merujuk sesuatu tindakan konkrit pada suatu norma konkrit; misal : kesetiaan yakni utk menepati janji, keadilan yakni kesediaan menghargai hak orang lain.
- Norma = prinsip dasar :
- Proposisi (“dalil”) pemindah nilai ke tingkat kehidupan konkrit, baik fungsi positif atau negatif.
- Ungkapan teknis pengalaman etis manusia
- Generalisasi relevan tentang apa yang secara normal relevan.
Pembagian teori etika.
Ditinjau dari segi inti :
- Etika kebijaksanaan :
- Dasar agama/kepercayaan : moralitas agama non-samawi.
- Dasar filsafat : etika kebahagian (Yunani).
- Etika kewajiban :
- Dasar agama : moralitas agama samawi (etika teonom)
- Dasar filsafat : Immanuel Kant (etika otonom).
Ditinjau dari segi metodologisnya :
- Etika Substantif
Dasarnya etika kebijaksanaan atau etika kewajiban.
- Etika Prosedural :
- Dasar Keadilan : contoh John Rawls
- Dasar Komunikasional : contoh Juergen Habermas
Ditinjau dari segi subyek pelaksananya :
- Etika maksim (prinsip subyektif bertindak, sikap dasar hati nurani ketika bersikap-tindak-perilaku-konkrit).
Misalnya etika kebijaksanaan. Bisa dilihat konteksnya, keterarahan pada maksim tertentu yang merangkai dalam satu jalinan makna (seperti tanggungjawab), dapat memperlihatkan watak seseorang dan dapat membedakan antara legalitas dan moralitas.
- Etika norma-norma
Dasarnya ialah peraturan-peraturan (hukum) sehingga tak bisa membedakan legalitas – moralitas.
Teori hidup baik (bermakna)
Teori ini mendasari nilai-nilai kenapa manusia berbuat sesuatu yang dipandang etis. Hidup baik dapat menurut pasien (masuk dalam “patients preferences” dan “quality of life”[9]) namun dalam hal ini ditujukan pada diri dokter sebagai mahluk otentik yang eksis dalam dirinya di tengah perubahan cepat masyarakat dan ilmu-pengetahuan-teknologi kedokteran di dunia (relevan mendasari “contextual features”)[10]. Hidup baik atau bermakna bila terdapat :
- Mencapai rasa nikmat (hedonisme egois – bagian dari egoisme etis)[11]
- Cinta menyatu ke Illahi (Plato, sufisme Islam, Kejawen) atau Cinta kepada Tuhan (Agustinus)[12]
- Kebahagiaan (eudemonia – bagian dari egoisme etis)[13]
- Kebajikan/keutamaan (virtue) Aristoteles[14]
- Hindari perasaan sakit (Epikurus).
- Rela menyatukan diri dengan (hukum) alam sebagai sunatullah (Stoa).[15]
- Mengikuti hukum kodrat (cinta kepada Tuhan plus keutamaan – Aquinas)[16]
- Not having, but being (Erich Fromm).
- Kebebasan/otonomi subyek sebagai sumber moralitas (Kant)
10. Pandangan dunia/lebenswelt (Habermas)
Kaidah dasar Moral
- Tindakan berbuat baik (beneficence)[17]
- General beneficence[18] :
- melindungi & mempertahankan hak yang lain
- mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
- menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,
- Specific beneficence[19] :
- menolong orang cacat,
- menyelamatkan orang dari bahaya.
- Mengutamakan kepentingan pasien[20]
- Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain[21]
- Maksimalisasi akibat baik[22] (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)[23]
- Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).[24]
2. Tidak merugikan atau nonmaleficence /primum non nocere[25]
- Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien, seperti :
– Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting
– Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
– Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
– Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal).
- Norma tunggal, isinya larangan.[28]
3. Keadilan
- Treat similar cases in a similar way = justice within morality.[29]
- Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness)[30] yakni :
- Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya)[31]
- Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan kemampuan pasien).
- Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi (bermartabat)[32], khususnya : yang-hak dan yang-baik[33]
- Jenis keadilan :
- Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima) [34]
- Distributif (membagi sumber) : kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban bersama[35], dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material kepada[36] :
- Setiap orang andil yang sama
- Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya
- Setiap orang sesuai upayanya.
- Setiap orang sesuai kontribusinya
- Setiap orang sesuai jasanya
- Setiap orang sesuai bursa pasar bebas
- Sosial : kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama[37] :
- Utilitarian : memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.[38]
- Libertarian : menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil substantif/materiil).[39]
- Komunitarian : mementingkan tradisi komunitas tertentu[40]
- Egalitarian : kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan kesamaan).[41]
- Hukum (umum) :
- Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang berhak.
- pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai kesejahteraan umum.[42]
4. Otonomi (self-determination)[43]
- Pandangan Kant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni : kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia.[44]
- Pandangan J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi.[45]
- Menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk bermartabat).[46]
- Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi[47].
- Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan, lindungi informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien; bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting.
- Erat terkait dengan doktrin informed-consent[48], kompetensi (termasuk untuk kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak yang dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen effects), letting die.
Pada etika teonom, yang mewajibkan adanya perintah Tuhan, ada nilai dasar moral utama yakni : ketuhanan (tidak diakui/dieksplisitkan bagi penganut pandangan sekuler)
- Dasar dan sekaligus tujuan seluruh etika (bagi pandangan teologis/non-sekuler)
- Menempatkan EK sebagai tuntutan (postulat) kodrat. Melanggar EK = memperkosa kodrat manusia.
- Menuju nilai kebenaran kedokteran yakni pengakuan :
- Adanya Tuhan : perintah menjalankan EK adalah “perintah Tuhan” /habbluminnallah.
- Adanya kebebasan kehendak
- Adanya keabadian jiwa
Selain 4 prinsip atau kaidah dasar moral tersebut, dikenal prinsip “turunan”nya[49] dengan nilai-nilai seperti :
- Berani berkata benar/kejujuran (veracity) : truth telling[50]
- Kesetiaan (fidelity) : keep promise
- Privacy (dari otonomi dan beneficence)[51]
- Konfidensialitas.[52]
- Menghormati kontrak (perjanjian)
- Ketulusan (honesty) : tidak menyesatkan informasi kepada pasien atau pihak ketiga seperti perusahaan asuransi, pemerintah, dll.
- Menghindari membunuh
Derajat ketegaran kaidah dasar moral
KDM dapat merupakan suatu hal tersendiri (disebut tegar), namun dapat saling bertukar sehingga dapat pula merupakan suatu kesinambungan (tidak tegar). Ketegaran tersebut bergantung pada :
- Legalisme (prinsip moral tergantung pada hukum/nilai utama lainnya)
- Absolut
- Prima facie (prinsip harus dipatuhi, namun dapat bertukar sejauh ada kepentingannya seperti prinsip lain yang lebih kuat atau ada alasan kuat untuk pengecualiannya[53])
- Relatif
- Antinomianisme (prinsip moral tidak tergantung pada hukum/nilai utama lainnya)
Keberlakuan etika kedokteran sebagai norma :
- Bersyarat (hipotetis) = teleologis[54]
- betul tidaknya tindakan bergantung pada akibat-akibatnya.[55]
- bila akibat baik : wajib;
- bila buruk : haram.
- hendak dicapai tujuan kedokteran tertentu namun tetap dalam bingkai “mempertahankan martabat kemanusiaan” (bukan tujuan asal-asalan).
- dasar : pengalaman (efektif – efisien).
- Kelemahan : menghilangkan dasar pembawa kepastian etis, tidak berketegasan, pemicu “tujuan menghalalkan cara”.
- Tidak bersyarat (kategoris) = deontologis [56]
- Tidak bergantung pada tujuan tertentu
- Betul tidaknya tindakan bergantung pada perbuatan/cara bertindak itu sendiri, bukan pada akibat tindakan.[57]
- Dasar : kewajiban/keharusan mutlak/absolut atau “kewajiban demi kewajiban”.[58]
- Kelemahan : pemicu fanatisme buta, tidak luwes dalam perkembangan jaman, tidak mampu memecahkan dilema etis.
Doktrin Efek Ganda
Efek buruk terkadang secara moral dapat diterima ketika akan memunculkan efek baik. Namun memerlukan sederet alasan tertentu. Hal ini berguna untuk etika teleologis.
Contoh : Anakku perlu sekolah, istriku perlu bersolek, suamiku perlu berkarir. Semua perlu duit. Sementara mencapai “fitrah” tadi, bolehkah melanggar EK (“pasien diobyekin”)?
Jawaban : “Azas Akibat Rangkap / Prinsip Ganda” sebagai patokan yang tak boleh dilanggar, yakni :
- akibat buruk tersebut tidak diinginkan (bukan maksud / tujuan yang pokok);
- perbuatan itu sendiri secara intrinsik tak boleh bersifat buruk/jahat (karena berbuat buruk manapun tak pernah ditolerir).
- akibat baik tak boleh diperoleh dari sebab yang buruk/jahat (akibat buruk tak boleh menjadi sarana mencapai efek baik), karena dengan sendirinya yang buruk dikehendaki secara langsung demi ke yang baik. Tujuan baik tidak membenarkan cara-cara (sarana) jahat.
- Alasan kuat (proporsional) bahwa akibat baiknya lebih kuat/penting daripada akibat buruk (harus melewati permenungan lebih dulu) bila tak ada cara lain yang lebih tepat. Manfaat > mudharatnya.
Kriteria Proporsionalias Richard Mc Cormik (proporsional tak sama dengan aritmetika) :
- Nilai berperanan minimal sama penting dengan nilai yang telah dikorbankan.
- Tak ada cara yang kurang/tidak merugikan untuk mencapai efek baik dimaksud.
- Cara mencapai nilai termaksud tidak boleh merusak nilai awal di kemudian hari.
Kesadaran moral dan tanggungjawab
Kesadaran moral atau kesadaran akan kewajiban mutlak dan tanpa syarat adalah suara hati (insan kamil) yang muncul/tampak atau menyatakan diri secara unik/khas dokter sebagai orang per orang. Melalui “jembatan” rasionalitas (kemasuk-akalan), suara hati dokter dapat berubah menjadi tanggungjawab.
Unsur kesadaran moral dokter adalah sebagai berikut [59]:
- Kewajiban mutlak yang membebani dokter
- Pelaksanaan kewajiban mengikat setiap dokter
- Kewajiban tersebut masuk akal dan layak disetujui
- Mengambil keputusan melaksanakan kewajiban tadi atau tidak adalah tanggung jawab dokter tersebut
- Dokter tadi sekaligus kemudian menentukan nilai dirinya sendiri
Struktur kesadaran moral dokter ialah :
- Kewajiban moral bersifat mutlak
- Rasionalitas
- Tanggungjawab subyektif dokter tersebut
Dengan demikian, ketika suara hati dokter mempertimbangkan suatu pernyataan moral (atas dasar kenyataan obyektif yang disuarakan dalam hati/internalisasi sebagai omongan “saya” atau “orang pertama”) tertentu[60] dengan memutuskan secara benar (= bertindak etis) atau keliru (= ada kemungkinan bertindak tidak etis, tergantung situasinya), disitu otomatis melekat tanggungjawab dari dokter tersebut. Demikian pula ketika suara hati dokter tadi menilai perilaku (professional conduct/misconduct) sejawat lainnya sebagai baik-buruk, jahat-suci, bertanggungjawab-biadab, pantas-layak ditegur, dll sebagai penilaian moral tertentu, cocok atau tidak dengan nilai-nilai yang dianutnya (termasuk nilai umum profesi).[61]
Norma dalam etika kedokteran (EK) :
- Merupakan norma moral yang hirarkinya lebih tinggi dari norma hukum dan norma sopan santun (pergaulan)[62]
- Fakta fundamental hidup bersusila :
Etika mewajibkan dokter secara mutlak, namun sekaligus tidak memaksa. Jadi dokter tetap bebas,. Bisa menaati atau masa bodoh. Bila melanggar : insan kamil (kesadaran moral = suara hati)nya akan menegur sehingga timbul rasa bersalah, menyesal, tidak tenang.
Sifat EK :
- Etika khusus (tidak sepenuhnya sama dengan etika umum)
- Etika sosial (kewajiban terhadap manusia lain / pasien).
- Etika individual (kewajiban terhadap diri sendiri = selfimposed, zelfoplegging)
- Etika normatif (mengacu ke deontologis, kewajiban ke arah norma-norma yang seringkali mendasar dan mengandung 4 sisi kewajiban = gesinnung yakni diri sendiri, umum, teman sejawat dan pasien/klien & masyarakat khusus lainnya)
- Etika profesi (biasa):
- bagian etika sosial tentang kewajiban & tanggungjawab profesi
- bagian etika khusus yang mempertanyakan nilai-nilai, norma-norma/kewajiban-kewajiban dan keutamaan-keutamaan moral
- Sebagian isinya dilindungi hukum, misal hak kebebasan untuk menyimpan rahasia pasien/rahasia jabatan (verschoningsrecht)
- Hanya bisa dirumuskan berdasarkan pengetahuan & pengalaman profesi kedokteran.
- Untuk menjawab masalah yang dihadapi (bukan etika apriori); karena telah berabad-abad, yang-baik & yang-buruk tadi dituangkan dalam kode etik (sebagai kumpulan norma atau moralitas profesi)
- Isi : 2 norma pokok :
- sikap bertanggungjawab atas hasil pekerjaan dan dampak praktek profesi bagi orang lain;
- bersikap adil dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
- Etika profesi luhur/mulia :
Isi : 2 norma etika profesi biasa ditambah dengan :
- Bebas pamrih (kepentingan pribadi dokter < kepentingan pasien) = altruisme.
- Ada idealisme : tekad untuk mempertahankan cita-cita luhur/etos profesi = l’esprit de corpse pour officium nobile
7. Ruang lingkup kesadaran etis : prihatin terhadap krisis moral akibat pengaruh teknologisasi dan komersialisasi dunia kedokteran.
Kesimpulan :
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. Pemahaman awal kaidah dasar moral akan menimbulkan kesadaran moral, yang dengan latihan dan paparan terhadap kasus-kasus kedokteran yang sebelumnya dan berkembang di masa mendatang diharapkan akan membekali kemampuan reflektif-analitik dokter, termasuk mahasiswa kedokteran, yang dengan mekanisme pendidikan dalam rangka saling mengingatkan terus menerus dan mencegah penyimpangan (amar ma’ruf – nahi mungkar) antar anggota profesi pada akhirnya akan menumbuhkan tangungjawab etis sesuai dengan moralitas profesi kedokteran. Tanggungjawab etis yang merupakan suara hati seorang dokter akan mempertahankan perilaku etis seluruh anggota profesi agar korps dokter ke depan tetap merupakan profesi mulia dengan setiap anggotanya masing-masing memiliki kesucian hati nurani.
Kepustakaan :
- Beauchamp, T.L. & Childress, J.F (1994),. Principles of Biomedical Ethics. Oxford University Press. Oxford.
- Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
- Lo, B. (1995). Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore. .
- Robert C. Solomon. (1984). Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta.
- Robert Veatch. (1989) Medical Ethics. Jones & Bartlett Publisher. Boston.
- Suseno, F.M. Mimeograf Kuliah Etika. Program Pascasarjana Filsafat UI. 2000.
- von Magnis, F.M (1984). Etika Umum. Kanisius. Jakarta.
- Webster’s New Dictionary of Synonyms. (1984). Springfield, MA : Merriam-Webster.
[1] Robert C. Solomon. Etika, Suatu Pengantar. Erlangga. Jakarta, 1984. hal 2
[2] Webster’s New Dictionary of Synonyms. Springfield, MA : Merriam-Webster, 1984, p. 547.
[3] Bandingkan batasan etika (Ki Hajar Dewantoro, 1962) : “ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan”.
[4] Robert C. Solomon, loc.cit. hal 7.
[5] Webster’s New Dictionary, loc.cit.
[6] Misalnya jangan membunuh.
[7] Hukum Talmud orang Ibrani. “Do unto others as you would have them do unto you” atau “Apa yang menyakitkan bagi kamu, jangan lakukan terhadap sesamamu”. Robert M. Veatch. Medical Ethics, Jones & Bartlett Publ. Boston, 1989. hal. 34, selanjutnya disingkat ME.
[8] Termasuk disini adalah didebat dan didukung sehingga terjadi pengurangan, penambahn atau repetisi.
[9] Lihat sistematika pembahasan etik klinik menurut Jonsen dkk. Lihat Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
[10] Jonsen dkk, ibid.
[11] Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai jumlah nikmat terbesar atau sedapat-dapatnya menghindari segala macam rasa sakit. Frans von Magnis. Etika Umum, Kanisius, Jakarta. 1984 (selanjutnya disingkat EU), hal. 82
[12] Hanya Allah Swt yang bebas berkehendak, sementara manusia tidak, sehingga semua perintah Tuhan tidak perlu diuji lagi kemasuk-akalannya. Teori teonom murni ini kadang-kadang menimbulkan irasionalisme. EU, hal. 99.
[13] Setiap tindakan ditujukan utnuk mencapai kebahagiaan sebagai tujuan primer pada diri tujuan itu sendiri (bukan sekunder mencapai tujuan lain). EU, hal 84.
[14] Tekad untuk mengembangakn semua bakat manusia mencapai kesempurnaan dengan condong berbuat baik, tidak semata-mata mencari nikmat karena itu juga terjadi pada hewan.
[15] Mengikuti hokum alam seperti hewan/tumbuh2an, dengan menekan semua tindakan biadab yang khas manusia.
[16] Mencapai kodrat yakni mengembang-sempurnakan semua kemampuan manusia sekaligus bahagia dan memenuhi kehendak Tuhan. Kodrat manusia sama sekali tidak terimbas keduniawian karena tujuan akhir manusia adalah berada di sisi Tuhan. EU, hal. 100 – 101. Kelemahannya ialah egoisme etis (subyektif).
[17] “Refers an action done for the benefits of others. Jadi tindakan positif. Harus dibedakan dengan benevolence (character trait or virtue of being dispose to act …). Tom L. Beauchamp & James F. Childress. Principles of Biomedical Ethics. Oxford University Press. Oxford. 1994 (selanjutnya disingkat PBE), hal 260. Beneficence > luas daripada non-maleficence karena mencakup prevensi penyebab kerugian dan penghilangan kondisi perugi pasien.
[18] Berbuat baik kepada siapapun – termasuk “yang tidak kita kenal” (impartially), merupakan etika normative. PBE hal. 263 – 265. Contoh : zakat 2,5%
[19] Bermoral bila tindakan baik ditujukan pada pihak khusus “yang kita kenal” : pasien, anak-anak, teman-teman. PBE, hal. 263. Hal ini menimbulkan kewajiban “mutlak” profesi, khususnya secara psikologis.
[20] Setiap tindakan ditujukan demi memajukan kepentingan penting dan sah pasien. Dasar utama dari altruisme (pengorbanan diri demi melindungi, menyelamatkan pasien) dan “roh” profesionalisme (“janji” atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpercaya. Misal memilihkan keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom ( kurang mampu memutuskan bagi dirinya), seperti anak, gangguan jiwa, gawat). Positive beneficence mempersyaratkan indicator tunggal : keuntungan pasien (mahluk individu). Beda dengan utility : boleh ada kerugian, asal seimbang dengan keuntungan (konteks mahluk social). Utilitarianisme memperluas beneficence menjadi : boleh pandang bulu (impartial obedience) asal bermanfaat atau boleh menghukum bila seseorang melanggar aturan.
[21] Istilah beneficence lainya : bermurah hati; kewajiban atau tugas untuk menyebarkan kebaikan, meningkatkan minat yg benar dari seseorang, dan mencegah atau mengatasi keburukan. Dokter berlaku profesional, bersikap jujur dan luhur pribadi (integrity), menghormati pasien, peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif memperthankan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan teknisnya.
[22] Dasarnya adalah uraian William Frankena. Apapun situasinya (dalam etika situasi ketika menghadapi kasus individual konkrit yang sering tidak menjamin keberlakuan etika umum-abstrak yang memakai kaidah deontologi peraturan), diupayakan memunculkan akibat baik, apapun bentuknya (hal ini pada akhirnya dikenal sebagai utilitarianisme). EU, hal 102 – 103. Sejalan dengan kewajiban beneficence : “one ought to do or promote good”, selain prevent evil/harm dan remove evil/harm. PBE, hal. 190.
[23] Prinsip utilitarian. Banyak berguna untuk penelitian teknik/obat baru. Lihat kriteria proporsionalitas atau asas ganda.
[24] Pasien sebagaimana flora dan fauna serta benda (alam keseluruhan non manusia) merupakan suatu being (ada), yang dengan ‘ada”nya saja patut dihormati dengan sikap baik. EU, hal. 108. Dasar hubungan dokter-pasien sebagai fiduciary relationship akibat keterbatasan diri pasien.(misal akalnya belum/tidak berfungsi baik, pada kasus anak-anak, orang gawat/tidak sadar, jompo, dll).
[25] Berupa indicator tunggal : menghilangkan derita dengan aturan : larangan untuk berbuat sesuatu, dipatuhi secara imparsial (tanpa pandang bulu), memberikan dasar alasan “perilaku melarang” tertentu.
[26] Kewajiban nonmaleficence : “One ought not to inflict evil or harm”. PBE, hal 192. Tidak melakukan malpraktek etik baik sengaja ataupun tidak, seperti dokter tak mempertahakan kemampuan ekspertisnya atau menganggap pasien sebagai komoditi.Tindakan nomaleficence antara lain menghentikan pengobatan yang sia-sia/, atau pengobatan luar biasa (tidak menawarkan harapan layak dari nikmat/keuntungan) yakni pengobatan yang tak bias diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya. Juga membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia, sengaja malpraktek etis.
[27] Tidak menambah kerentanan pasien dalam hal dependensi, minimnya inisiatif, hilangnya persistensi dan turunnya kapasitas mentalnya.Dokter tidak boleh inkompeten dalam ketrampilan teknis medis dan komunikasi. Mencegah perlakuan buruk pada orang lain.
[28] Misalnya 10 perintah Tuhan yang sebenarnya sifatnya larangan berbuat jahat/membuat derita orang lain seperti “Jangan membunuh”, dll. Terhadap pasien : jangan membunuh, jangan menyebabkan nyeri atau menderita, jangan menahan (membuat inkapasitas), jangan mengawali menyerang, jangan menghalangi nikmat untuk hidupnya. PBE, hal. 194.
[29] Ketidakadilan = memperlakukan berbeda (satu baik, satu buruk) pada orang dengan situasi-kondisi yang mirip sama. Keadilan = kewajiban prima facie untuk memberi perlakuan sama terhadap orang lain, khususnya dengan memperhatikan kemampuan dan kebutuhan orang lain tersebut dalam mencapai harkat kebahagiaan dirinya. Ketidakadilan hanya dibenarkan bila berdasarkan beneficence atau jangka panjang secara utilitarian menghasilkan keadilan yang lebih besar. EU, hal. 104 – 105.
[30] John Locke menyebut the just society sebagai jaminan bahwa tak ada individu dibawahkan dan terpuruk (subordination or subjection). Aspek fairness ialah penyama-rataan, kesetaraan (equality, the just person is one who treats all person as equal), accessibility to health care. Ian Kerriidge, Michael Lowe & Hohn McPhee. Ethics and Law for the Health Professions. Social Science Press, Australia, 2003, hal. 77.
[31] Keadilan = tidak menuntut semua orang sama-sama bahagia, namun menciptakan syarat-syarat (situasi-kondisi) agar orang lain dapat bahagia. Contoh : syarat penghentian alat Bantu napas/jantung untuk mencegah futility (kesia-siaan medik)
[32] Manusia satu-satunya mahluk berakal budi, bukan mesin biologis atau suatu shell berisi penuh artificial intelligent. Berakal budi artinya otonom, berkehendak bebas secara sadar, tanpa tekanan apapun.
[33] Keadilan hanya berlaku bagi manusia sebagai mahluk berakal budi (bermartabat), beda dengan beneficence yang berlaku terhadap apa saja (termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda). Keadilan dan beneficence merupakan dua sejoli yang saling komplementer dan saling membatasi dalam fungsinya (bila satu muncul, yang lain menjadi syaratnya). EU, hal. 106 – 107.
[34] Kebutuhan penerima dianggap petunjuk imparsial. Keadilan bukan atas dasar selera (favouritism) atau diskriminasi. Disini jelas tidak adanya penyamarataan buta. Contoh : triage dalam kegawatan, dimana orang yang gawat karena kebutuhannya untuk diselamatkan nyawanya atau dihindarkan cacatnya, walau datangnya belakangan, toh ditolong lebih dahulu (tidak urut nomor/sesuai kaidah fairness semata-mata, karena ini menjadi penyamarataan buta).
[35] Mempertimbangkan cost – benefit ratio pengobatan = membagikan yang-baik dan yang-buruk = berlaku adil.
[36] PBE, hal 330.
[37] Melatarbelakangi teori pendukung keadilan distributive, PBE , hal 324
[38] Contoh : menetapkan alokasi anggaran kesehatan dengan prioritas tertentu seperti QALY (quality adjusted life-years), berdasarkan usia, dll. Contoh lain : penetapan perlakuan pasien pada kelangkaan sumber-sumber (meliputi tahap-tahap standar substansi dan aturan prosedural, skrining awal resipien potensial, factor konstituen, prospek sukses, seleksi final pasien, pemanfaatan medik, mekanisme impersonal kesempatan dan antri, kemanfaatan social dll).
[39] Pokok utama adalah kebebasan memilih (individual) dan privatisasi (kepemilikan) melalui jaminan berlangsungnya prosedur adil (dalam pemerolehan, pemindahan dan pembayaran ganti rugi). Lihar Robert Nozick, PBE, 336 – 337.
[40] Mementingkan nilai dan standar tradisional “yang-baik” masyarakat, pluralitas dan solidaritas (kebajikan kepedulian individual bersama moralitas sosial).
[41] Adalah rasional dan dipilih oleh siapapun, bahwa adil = prinsip memaksimalkan batas (plafon) minimum nikmat primer demi menjamin kepentingan vital pada situasi yang memburuk. Implikasi teori John Rawls. Kesamaan fair terhadap peluang sehat namun mengatasi ketidaksamaan genetis/kodrati. Misal alokasi dana puskesmas lebih besar untuk menyehatkan masyarakat miskin/paling tertinggal supaya sama peluang sehatnya dengan masyarakat kaya = adil. Kepemilikan utama primer seperti jender, ras, IQ, keturunan, asal muasal kebangsaan, status social tak bias menjadi factor alas an pembagi. “Kepada setiap orang sesuai dengan jenis kelaminnya ……”, jelas tidak adil. PBE, hal. 340 – 341.
[42] Criminal justice (penjatuhan sanksi pidana bagi terpidana) dan rectificatory justice (pemberian kompensasi pelanggaran transaksi/kontrak, melalui hokum perdata). PBE , hal 327.
[43] Kepustakaan lain menyebut kaidah ini lebih luas sebagai “preferences of patients” yang melihat pasien sebagai sosok manusia otentik dengan rasionalitas tertentu Lihat Jonsen, A.R., Siegler, M, Winslade, W.J. (2002). Clinical Ethics. A Practical Approach to Ethical Decisions in Clinical Medicine. McGraw-Hill. New York.
[44] Ciri khusus ialah kesukarelaan, tanpa paksaan atau manipulasi.
[45] Ciri khusus ialah memahami perspektif pasien, menolong ia bermusyawarah, mencoba mempersuasi pasien, negosiasi rencana terapi timbal balik, terpaut dalam diskusi dengan pasien, mempersilahkan pasien memutuskan.
[46] Pembuatan testamen/wasiat : jangan coba resusitasi (DNAR), jangan resusitasi (do not resusitate)
[47] Prinsip ini oleh Engelhardt dianggap lebih didahulukan dibandingkan sikap berbuat baik. Robert Veatch. Medical Ethics. hal 37.
[48] Beberapa pengertian : persetujuan terhadap anjuran dokter, kekuasaan menolak intervensi, kekuasaan memilih diantara alternatif-alternatif dan saling andil dalam pembuatan keputusan (shared decision making). Penolakan informed consent pada : pasien tidak memahami informasi, tidak mau memutuskan, memilih keputusan berlawanan dengan kepentingan terbaiknya. Perkecualian : dibawah pengampuan, implied consent pada gawat darurat, therapeutic privilege (menahan informasi demi mencegah perburukan pasien), waiver (menyerahkan hak ke dokter).
[49] Beauchamp & Childress (1994),. Principles of Medical Ethics.
[50] Derivat otonomi. Misal : mencegah penyesatan terhadap pasien
[51] Selain melindungi hal-hal yang bersifat pribadi yang unik/otentik dari pasien, juga lebih mengutamakan/memenangkan pasien dalam menjaga rahasianya atau ketika berkonflik akan membuka informasi dirinya kepada pihak lain.
[52] Menghormati privasi pasien. Ciri lain : menyembunyikan identitas pada presentasi kasus, tidak bergosip, membuka sebagian rahasia kepada orang yang peduli seperti anggota keluarga, sahabat/kerabat, pers; membiarkan informasi peka pada catatan medik, membuka demi pihak ketiga, peringatan kepada partner (kewajiban atau harus minta ijin terlebih dahulu). dll
[53] Bernard Lo. Resolving Ethical Dilemmas. A Guide for Clinicians. Williams & Wilkins. Baltimore. 1995. hal. 20
[54] (telos /Y= tujuan)
[55] Contoh : tujuan menyelamatkan nyawa ibu hamil gawat dengan melakukan terminasi kehamilan janinnya.
[56] (deon /Y = yang diwajibkan)
[57] Contoh : dokter harus menghormati manusia sejak saat pembuahan.
[58] Tradisi etika kewajiban Kantian. Bandingkan dengan istilah Driyarkara : “ikatan yang membebaskan” (kewajiban tadi bila dikerjakan, dokter akan merasa “lega/plong” dan terbebas dari beban apapun).
[59] Frans Magnis Suseno. Etika Umum. Kanisius. Jakarta, hal 22 – 24.
[60] Pernyataan moral adalah obyek etika yang berisi evaluasi kesesuaian norma tadi dengan norma moral. Pernyataan moral umumnya berisi pernyataan kewajiban. EU, hal 15.
[61] Penilaian perilaku manusia tertentu sebagai baik-buruk masuk dalam obyek etika sebagai penilaian moral. EU, hal . 15.
[62] Etika sebagai hokum alam/kodrat merupakan “puncak segitiga” tatanan hokum (Hans Kelsen), karena merupakan sumber material hokum. Tradisi Hippocrates yang ribuan tahun silam merupakan sumber hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang bertentangan dengan etika akan kehilangan nilai-nilai hukumnya (“cacat moral”). Pandangan etikolegal memberi legitimasi dokter berhak membahas hokum kedokteran kontemporer.
Sumber : Agus Purwadianto
Leave a comment